Rabu, 30 Desember 2009

Tiga Landasan Utama (bag. 02) Alhamdulillah, as-Sholatu was salamu ‘ala man la nabiyya ba’dah. Amma ba’d. Pada pertemuan sebelumnya telah dijelaskan


Tiga Landasan Utama (bag. 02)

Alhamdulillah, as-Sholatu was salamu ‘ala man la nabiyya ba’dah. Amma ba’d.

Pada pertemuan sebelumnya telah dijelaskan mengenai judul risalah ini dan berbagai pelajaran berharga yang terkandung di dalamnya, sehingga risalah ini menjadi sebuah risalah yang penting bagi setiap muslim dan muslimah. Hal itu dikarenakan di dalamnya terdapat penjelasan mengenai sebab keteguhan mereka dalam menghadapi cobaan di dunia yang berupa fitnah syubhat maupun syahwat, demikian juga keteguhan ketika menghadapi pertanyaan dua malaikat di dalam kubur. Nah, sekarang kita akan melanjutkan pembicaraan kita dengan membahas sebagian kandungan mukadimah kitab ini…


Setelah bismillahirrahmanirrahim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan,

اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَع مَسَائِلَ

“Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu. Wajib bagi kita untuk mempelajari empat perkara…”

Makna doa rahmat adalah permohonan kepada Allah agar mendapatkan ampunan atas kesalahan di masa silam dan bimbingan untuk menjalani kehidupan di masa depan. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu artinya; semoga Allah melimpahkan kepadamu rahmat-Nya yang dengan itu kamu akan berhasil meraih cita-citamu dan kamu akan selamat dari apa yang kamu khawatirkan. Sehingga makna ungkapan ini adalah semoga Allah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan semoga Allah memberikan taufik kepadamu dan menjagamu dari dosa-dosa yang akan datang. Ini apabila doa rahmat disebutkan secara sendirian. Adapun apabila doa ini disertakan bersama doa ampunan maka doa ampunan ditujukan bagi dosa-dosa yang telah lalu, sedangkan rahmat dan taufik untuk mendapatkan kebaikan serta keselamatan di masa depan. Apa yang dilakukan oleh penulis rahimahullahu ta’ala menunjukkan perhatian beliau dan kasih sayangnya kepada orang yang diajak bicara serta menunjukkan bahwa beliau menginginkan kebaikan untuknya.” (Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 19)

Syaikh Khalid bin Abdullah al-Mushlih hafizhahullah menjelaskan:

وهذا من لطفه وحسن تأليفه ورفقه بمن يتعلم، فدعا للمتعلّم سواءٌ أكان قارئًا أم مستمعاً بالرحمة، وهذا منهج مهم وطريق لابد من التنبه إليه، وهو أن يكون المعلِّم والداعية إلى دين الله عز وجل شفيقاً رحيماً، وأن يشعر من يدعوه أنه يريد به الخير والهدى، ويريد أن يخرجه من الظلمات إلى النور؛ فإن هذا الأسلوب من أسباب قبول الدعوة، ومن أسباب قبول العلم، ولذلك قال الله جل وعلا في رسوله: وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ . آل عمران:159، وينبغي أن يكون الداعية إلى دين الله عز وجل رءوفاً رحيماً، كما قال الله جل وعلا في حق نبيّه صلى الله عليه وسلم: لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ . [التوبة:128]…

“Ini merupakan kehalusan beliau dan gaya penulisan yang bagus yang menunjukkan kelembutan beliau kepada orang yang menimba ilmu. Beliau mendoakan curahan rahmat bagi orang yang menimba ilmu, baik dia adalah sebagai pembaca maupun pendengar pelajarannya. Ini merupakan metode yang sangat penting dan cara yang sudah semestinya diperhatikan. Yaitu semestinya seorang pengajar dan da’i yang menyeru kepada agama Allah ‘azza wa jalla menjadi seorang yang lembut dan penyayang. Begitu pula seharusnya orang yang didakwahi merasa bahwa da’i tersebut menginginkan kebaikan dan hidayah baginya. Hendaknya dia merasa bahwa sang da’i menginginkan agar dia terkeluarkan dari berbagai kegelapan menuju cahaya. Sesungguhnya metode semacam ini merupakan salah satu penyebab diterimanya dakwah dan diterimanya ilmu yang disampaikan. Oleh sebab itulah Allah jalla wa ‘ala berfirman mengenai rasul-Nya (yang artinya), ‘Seandainya kamu adalah orang yang berhati kasar niscaya mereka akan lari dari sisimu.’ (Qs. Ali Imran: 159). Dan semestinya seorang da’i yang menyeru kepada agama Allah ‘azza wa jalla menjadi seorang yang lembut lagi penyayang. Sebagaimana yang difirmankan Allah jalla wa ‘ala tentang diri Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), ‘Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian, terasa berat apa saja yang menyusahkan kalian, dan sangat bersemangat memberikan kebaikan untuk kalian dan kepada orang-orang yang beriman sangat lembut dan penyayang.’ (Qs. at-Taubah: 128)…. ” (Syarh al-Ushul ast-Tsalatsah, hal. 4 software Maktabah asy-Syamilah)

Perintah untuk menebar kasih sayang

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

Dalam riwayat Tirmidzi dengan teks,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاء

“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah yang di atas muka bumi niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan sahih oleh Tirmidzi dan disahihkan al-Albani)

Di dalam riwayat Ahmad dengan lafazh,

الراحمون يرحمهم الرحمن ارحموا أهل الأرض يرحمكم أهل السماء

“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya penduduk langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Ahmad, dinyatakan sahih lighairihi oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth)

al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan,

والمراد بأهل السماء الملائكة ومعنى رحمتهم لأهل الأرض دعاؤهم لهم بالرحمة والمغفرة

“Yang dimaksud dengan penduduk langit adalah para malaikat. Makna kasih sayang mereka kepada penduduk bumi adalah berupa doa yang mereka panjatkan demi kebaikan mereka -penduduk bumi- berupa curahan rahmat dan ampunan…” (Tuhfat al-Ahwadzi [6/43] software Maktabah asy-Syamilah)

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menerangkan,

وهذا لأن الجزاء من جنس العمل، فكما أنهم يَرحمون يُرحمون، فحينما حصلت منهم رحمة للخلق الذين يستحقون الرحمة فجزاؤهم أن يرحمهم الله تعالى.

“Hal ini dikarenakan balasan atas suatu amal sejenis dengan amal yang dilakukan. Sebagaimana mereka menyayangi maka mereka pun disayangi. Ketika muncul kasih sayang dari mereka kepada orang-orang yang memang berhak untuk disayangi maka balasan untuk mereka adalah Allah ta’ala pun menyayangi mereka…” (Syarh Sunan Abu Dawud [28/249] software Maktabah asy-Syamilah)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah menjelaskan:

قال العلماء سبب ذلك أن مبنى هذا العلم الرحمة، ونتيجته الرحمة في الدنيا، وغايته الرحمة في الآخرة، لهذا الشيخ رحمه الله نبه على ذلك تنبيها لطيفا دقيقا حيث قال (اعلمْ -رحمكَ اللهُ-)؛ دعاء للمتعلم بالرحمة, ذلك لأن مبنى التعلم بين المعلم والمتعلم هو التراحم كلٌّ بما يناسبه.

“Para ulama mengatakan -ketika menjelaskan kandungan hadits tersebut, pent- bahwa sebabnya adalah dikarenakan ilmu ini dibangun di atas landasan rahmat (kasih sayang). Buahnya adalah rahmat di dunia dan tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan rahmat di akherat. Oleh sebab itulah Syaikh -Muhammad bin Abdul Wahhab- rahimahullah memberikan perhatian atasnya dengan cara yang halus dan lembut yaitu ketika beliau mengutarakan -di dalam risalah ini- dengan ucapannya, ‘Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu’. Ini merupakan doa agar orang yang menimba ilmu memperoleh curahan rahmat. Hal itu dikarenakan kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan antara pengajar dengan pelajar dibangun di atas landasan sikap saling menyayangi, satu sama lain -disayangi- sesuai dengan kedudukannya.” (Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 4)

Catatan: Hadits di atas merupakan salah satu dalil yang sangat jelas menunjukkan bahwa Allah berada di atas langit, bukan di mana-mana sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “… niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” Bahkan, Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kami mengimani bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya, sebagaimana telah diberitakan di dalam Kitab-Nya yang mulia. Kami tidak mengatakan bahwa Dia berada di setiap tempat. Akan tetapi Dia berada di atas langit, sedangkan ilmu-Nya di setiap tempat. Tidak ada satu tempat pun yang lutput dari ilmu-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), ‘Apakah kalian merasa aman dari hukuman Tuhan yang berada di atas langit?’ (Qs. al-Mulk: 16)…” (ad-Dala’il al-Wafiyah fi Tahqiq ‘Aqidati an-Nawawi a Salafiyah am Khalafiyah, transkrip ceramah Syaikh Masyhur Hasan Salman, hal. 42-43).

al-Munawi rahimahullah menyebutkan:

ذكر بعض العارفين من مشائخنا أن حجة الإسلام الغزالي رؤي في النوم فسئل ما فعل الله به فقال : أوقفني بين يديه وقال : بماذا جئت فذكرت أنواعا من العبادات فقال : ما قبلت منها شيئا ولكن غفرت لك هل تدري بماذا ؟ جلست تكتب يوما فسقطت ذبابة على القلم فتركتها تشرب من الحبر رحمة لها فكما رحمتها رحمتك اذهب فقد غفرت لك

“Sebagian orang arif di kalangan para guru kami pernah menceritakan bahwasanya ada orang yang bermimpi bertemu dengan Hujjatul Islam al-Ghazali -rahimahullah- dalam tidurnya. Ketika itu beliau ditanya, apa yang Allah lakukan kepadanya. Maka beliau menjawab, ‘Allah memberdirikanku di hadapan-Nya, dan bertanya: ‘Dengan membawa apa kamu datang?’ Maka aku pun menyebutkan berbagai jenis ibadah -yang pernah kukerjakan-, lalu Allah mengatakan, ‘Tidak ada yang Aku terima dari itu semua sedikitpun, akan tetapi Aku telah mengampunimu. Tahukah kamu apa sebabnya? Suatu hari kamu sedang duduk menulis tiba-tiba ada seekor lalat yang jatuh menimpa pena -bersama tintanya- kemudian kamu biarkan ia minum dari tinta itu karena kasihan/sayang kepadanya. Maka sebagaimana kamu telah mengasihinya maka sekarang kini Akupun mengasihimu. Pergilah, aku telah mengampunimu.’.” (Faidh al-Qadir [3/11] software Maktabah asy-Syamilah)

Ancaman bagi orang yang tidak punya rasa kasih sayang

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau meriwayatkan:

أَنَّ الأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ أَبْصَرَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُ الْحَسَنَ فَقَالَ إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ وَاحِدًا مِنْهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّهُ مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ ».

“al-Aqra’ bin Habis suatu ketika melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mencium al-Hasan -cucu beliau-, maka dia berkata: ‘Saya memiliki sepuluh orang anak namun saya belum pernah melakukan hal ini kepada seorang pun di antara mereka.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, ‘Sesungguhnya barang siapa yang tidak menyayangi maka dia tidak akan disayangi.’.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafazh Muslim)

Dalam riwayat Abu Dawud dengan teks,

أَنَّ الأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ أَبْصَرَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يُقَبِّلُ حُسَيْنًا فَقَالَ إِنَّ لِى عَشْرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا فَعَلْتُ هَذَا بِوَاحِدٍ مِنْهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ »

“al-Aqra’ bin Habis suatu ketika melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mencium Husain -cucu beliau-, maka dia berkata: ‘Saya memiliki sepuluh orang anak namun saya belum pernah melakukan hal ini kepada seorang pun di antara mereka.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, ‘Barang siapa yang tidak menyayangi maka dia tidak akan disayangi.’.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

“Sesungguhnya Allah hanya akan menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang.” (HR. Bukhari)

Ibnu Batthal rahimahullah mengatakan,

فى هذه الأحاديث الحض على استعمال الرحمة للخلق كلهم كافرهم ومؤمنهم ولجميع البهائم والرفق بها . وأن ذلك مما يغفر الله به الذنوب ويكفر به الخطايا ، فينبغى لكل مؤمن عاقل أن يرغب فى الأخذ بحظه من الرحمة ، ويستعملها فى أبناء جنسه وفى كل حيوان…وكذلك ينبغى أن يرحم كل بهيمة وإن كانت فى غير ملكه ، ألا ترى أن الذى سقى الكلب الذى وجده بالفلاة لم يكن له ملكًا فغفر الله له بتكلفة النزول في البئر وإخراجه الماء فى خفه وسقيه إياه…

“Di dalam hadits-hadits ini terkandung dorongan untuk bersikap kasih sayang kepada segenap makhluk, yang kafir maupun yang beriman dan juga kepada segenap hewan piaraan dan bersikap lembut kepadanya. Dan sesungguhnya hal itu merupakan salah satu penyebab Allah akan mengampuni dosa dan menutupi kesalahan-kesalahan. Oleh sebab itu sudah semestinya setiap mukmin yang berakal bersemangat dalam mengambil bagian dalam upaya mewujudkan rasa kasih sayang dalam dirinya dan menerapkannya kepada sesama jenisnya -manusia- dan juga kepada segala jenis hewan -kecuali yang membahayakan, pent-…”… “Demikian pula semestinya dia menyayangi setiap hewan piaraan meskipun bukan miliknya sendiri. Tidakkah kamu melihat bahwa orang yang memberikan minum kepada anjing tak berpemilik yang ditemukannya di tengah padang tandus sehingga Allah pun berkenan untuk mengampuninya disebabkan usahanya dengan bersusah payah turun ke sumur dan mengambil airnya dengan terompahnya dan kemudian memberikan air itu untuk minum si anjing…” (Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Batthal, [9/219-220] software Maktabah asy-Syamilah)

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menukil keterangan Ibnu Abi Jamrah,

ويحتمل أن يكون المراد من لا يكون فيه رحمة الإيمان في الدنيا لا يرحم في الآخرة أو من لا يرحم نفسه بامتثال أوامر الله واجتناب نواهيه

“Bisa juga ditafsirkan maknanya adalah bahwa barang siapa yang pada dirinya ketika di dunia tidak terdapat rahmat keimanan maka dia tidak akan mendapat rahmat di akherat. Atau barang siapa yang tidak mengasihi dirinya sendiri dengan cara melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya -maka Allah juga tidak akan mengasihinya kelak di akherat, pent-…” (Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari [10/440] software Maktabah asy-Syamilah)

Ringkasan

Nah, dengan mencermati penjelasan para ulama di atas jelaslah bagi kita bahwa di dalam doa rahmat yang dipanjatkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di awal mukadimah risalahnya ini terkandung banyak pelajaran berharga, di antaranya:

1. Penyebaran ilmu ini dilandaskan oleh rasa kasih sayang kepada umat manusia.
2. Semestinya seorang pengajar bersikap lemah lembut kepada orang yang diajarinya.
3. Kelembutan merupakan unsur penting dalam dakwah dan salah satu sebab diterimanya dakwah.
4. Hal ini juga menunjukkan hendaknya seorang da’i menempuh cara termudah agar orang yang didakwahi menerima dan memahami apa yang didakwahkannya. Salah satu caranya adalah dengan medoakan kebaikan atau hidayah baginya, sebagaimana kisah Abu Hurairah radhiyallahu’anhu yang meminta kepada Nabi untuk mendoakan ibunya yang tidak mau masuk Islam. Kemudian berkat doa beliau akhirnya ibunya masuk Islam.
5. Barang siapa yang mengasihi sesama maka Allah pun akan mengasihinya.
6. Kasih sayang yang sejati adalah yang membimbing manusia menuju keselamatan dan kebahagiaan abadi di akherat nanti.
7. Islam memuji orang-orang yang mempunyai rasa kasih sayang dan mencela orang yang tidak memilikinya.
8. Orang yang paling jelek adalah yang tidak menyayangi dirinya sendiri yaitu dengan tidak beriman, tidak mau tunduk kepada perintah Allah dan tidak mau menjauhi larangan-larangan-Nya.
9. Hendaknya bersikap kasih sayang kepada sesama manusia bahkan kepada hewan sekalipun.
10. Balasan yang diberikan sejenis dengan bentuk amal yang dilakukan. Barang siapa yang menyayangi maka akan disayangi. Barang siapa yang mengingat Allah maka Allah akan mengingatnya. Barang siapa menjaga -aturan- Allah maka Allah pun akan menjaganya. Barang siapa yang membela -agama- Allah maka Allah pun akan menolongnya. Demikian seterusnya…

Demikianlah pembahasan ringkas yang bisa kami sajikan dalam kesempatan ini. Semoga Allah ta’ala berkenan untuk menerima amal ini dan menjadikannya bermanfaat bagi kami dan pembaca sekalian. Masih banyak pelajaran berharga yang tersimpan dalam risalah mungil ini, kita berharap kepada Allah agar memberikan kesempatan kepada kita untuk mengkajinya dan kemudian mengamalkan ilmu yang kita pahami darinya.

Allahumma inna nas’aluka ‘ilman naafi’an wa na’uudzubika min ‘ilmin yaa yanfa’ (Ya Allah, kami memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat). Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Yogyakarta, Rabu 11 Syawwal 1430 H
Hamba yang fakir kepada Rabbnya

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Tiga Landasan Utama (bag. 01) Alhamdulillah, as-sholatu was salamu ‘ala man la nabiyya ba’dah. Amma ba’d. “Risalah Tsalatsatul Ushul adalah sebuah r


Tiga Landasan Utama (bag. 01)

Alhamdulillah, as-sholatu was salamu ‘ala man la nabiyya ba’dah. Amma ba’d.

“Risalah Tsalatsatul Ushul adalah sebuah risalah yang penting bagi setiap muslim.” (Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh. Menteri Urusan Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Keislaman Arab Saudi)

Tsalatsatul Ushul (tiga landasan utama) merupakan salah satu risalah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yang tersebar luas di kalangan kaum muslimin. Risalah ini mengandung pelajaran-pelajaran yang sangat penting dan mendasar demi terwujudnya pribadi muslim yang mentauhidkan Allah dalam segala sisi kehidupannya.


Telah banyak ulama yang membahas risalah ini dalam bentuk ceramah, tulisan, yang ringkas maupun panjang lebar. Di antara mereka adalah Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, Syaikh Zaid bin Hadi hafizhahullah, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah, Syaikh Nu’man bin Abdul Karim al-Watr hafizhahullah, Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan hafizhahullah, Syaikh Khalid bin Abdullah al-Mushlih hafizhahullah dan para ulama lainnya.

Dan segala puji bagi Allah, bersama rekan-rekan yang lain saya mendapat kesempatan mengikuti pelajaran kitab tersebut bersama Ustadz Abu Isa Abdullah bin Salam hafizhahullah [1] dalam rangkaian daurah di Ma’had Jamilurrahman as-Salafy dan juga daurah yang diadakan oleh Lembaga Bimbingan Islam al-Atsary beberapa tahun yang silam. Sungguh ini merupakan kenikmatan yang sangat agung dan pengalaman yang sangat berharga dalam kehidupan kami, semoga Allah meneguhkan kami dan anda sekalian di atas akidah tauhid yang suci ini hingga bertemu dengan-Nya nanti.

Pada kesempatan ini kami insya Allah akan memulai pembahasan risalah/kitab ini dengan mengacu kepada beberapa kitab syarah yang ada dengan tambahan keterangan dari sumber lainnya semampu kami, dan Allah lah satu-satunya tempat bergantung bagi kami.

Judul Risalah

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memberi nama risalahnya dengan judul:

ثلاثةُ الأُصُول

Artinya: “Tiga landasan utama.”

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengomentari:

هذه رسالة مهمة في العقيدة ألفها الشيخ أبو عبد الله الإمام محمد بن عبد الوهاب بن سليمان بن علي التميمي الحنبلي الإمام المشهور المجدد لِما اندرس من معالم الإسلام في النصف الثاني من القرن الثاني عشر ـ رحمه الله وأكرم مثواه ـ . وقد كان ـ رحمه الله ـ يلقن الطلبة والعامة هذه الأصول ليدرسوها ويحفظوها ، ولتستقر في قلوبهم لكونها قاعدة في العقيدة .

“Ini adalah risalah yang sangat penting dalam bidang akidah. Risalah yang ditulis oleh Syaikh Abu Abdillah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali at-Tamimi al-Hanbali. Seorang imam yang masyhur sekaligus seorang pembaharu yang mereformasi berbagai ajaran Islam yang mengalami kelunturan pada paruh kedua di abad keduabelas (hijriyah), semoga Allah mencurahkan rahmat kepadanya dan memuliakan tempat peristirahatannya. Beliau -semoga Allah merahmatinya- dahulu biasa mendiktekan kepada para murid dan masyarakat umum pokok-pokok -akidah- ini agar mereka mau mempelajari dan menghafalkannya dan supaya apa yang terdapat di dalamnya bisa tertanam di dalam hati mereka, dikarenakan perkara-perkara itu merupakan pondasi dalam hal akidah.” (Syarh Ushul Tsalatsah li Ibni Baz, hal. 1 software Maktabah asy-Syamilah)

Syaikh Khalid bin Abdullah al-Mushlih hafizhahullah menjelaskan:

وهذه الرسالة رسالة عظيمة كثيرة الفوائد ألفها رحمه الله لبيان ما يحتاج إليه كل مؤمن ومؤمنة، وكل مسلمٍ ومسلمة، وسمى هذه الرسالة (ثلاثة الأصول)، وهي معروفة بهذا الاسم، أو باسم (الأصول الثلاثة)، بين فيها ما يجب معرفته مما يتعلق بالله عز وجل، ومما يتعلق بالنبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم، ومما يتعلق بدين الإسلام، وأكثر من ذكر الأدلة في ثنايا هذه الرسالة المباركة ليتبين بذلك أن ما يدعو إليه منبثق من الكتاب والسنة، وأنه معتمد عليهما…

“Risalah ini adalah risalah yang agung dan mengandung banyak pelajaran berharga. Risalah ini ditulis oleh beliau rahimahullah dalam rangka menjelaskan hal-hal yang dibutuhkan oleh setiap mukmin dan mukminah dan setiap muslim dan muslimah. Risalah ini diberi nama Tsalatsatu Ushul dan ia populer dengan nama ini. Atau ia juga dikenal dengan nama al-Ushul ats-Tsalatsah. Di dalamnya beliau menjelaskan berbagai perkara yang wajib diketahui yang meliputi keyakinan tentang Allah ‘azza wa jalla, keyakinan yang terkait dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, dan keyakinan yang terkait dengan agama Islam. Di tengah-tengah risalah yang diberkahi ini beliau sering sekali menyebutkan dalil-dalil supaya tampak dengan jelas bahwa apa yang beliau dakwahkan benar-benar memiliki landasan dari al-Kitab dan as-Sunnah, dan demi membuktikan bahwasanya tulisan ini memang bersandar kepada keduanya…” (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 2 software Maktabah asy-Syamilah)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah juga menerangkan:

رسالة ثلاثة الأصول, رسالة مهمّة لكل مسلم، وكان العلماءُ -أعني علمائنا- يعتنون بها شرحا، في أول ما يشرحون من كتب أهل العلم، ذلك؛ لأن فيها الجواب عن أسئلة القبر الثلاث؛ ألا وهي سؤال الملكين العبد عن ربه، وعن دينه، وعن نبيه، وهي ثلاثة الأصول يعني معرفة العبد ربه؛ وهو معبوده، ومعرفة العبدِ دينه؛ دين الإسلام بالأدلة، ومعرفة العبد نبيه عليه الصلاة والسلام، فمن هاهنا جاءت أهمية هذه الرسالة؛ لأن فيها من أصول التوحيد والدين الشيء الكثير.

“Risalah Tsalatsatul Ushul adalah sebuah risalah yang penting bagi setiap muslim. Dahulu para ulama -maksud saya para ulama kita (ulama di Arab Saudi, pent)- memberikan perhatian besar dengan memberikan syarah/penjelasan atasnya dalam kesempatan pertama mereka membahas keterangan kitab-kitab ulama. Hal itu disebabkan di dalamnya terkandung jawaban terhadap tiga pertanyaan di alam kubur. Ketahuilah bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh dua malaikat kepada setiap hamba yang menanyakan tentang siapa Rabbnya, tentang agamanya, dan tentang nabinya. Itulah Tsalatsatul Ushul/tiga landasan utama: yaitu seorang hamba harus mengenali Rabbnya yaitu sesembahannya, mengenali agamanya yaitu agama Islam, dan mengenali nabinya ‘alaihis sholatu was salam. Di situlah terletak urgensi/nilai penting risalah ini. Karena di dalamnya terdapat banyak pokok-pokok ajaran tauhid dan agama…” (Syarh Tsalatsatul Ushul li Shalih ali Syaikh, hal. 2 software Maktabah asy-Syamilah)

Dalil Tentang Pertanyaan Kubur

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan:

حدثنا أبو الوليد حدثنا شعبة قال أخبرني علقمة بن مرثد قال سمعت سعد بن عبيدة عن البراء بن عازب : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال المسلم إذا سئل في القبر يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله . فذلك قوله يثبت الله الذين آمنوا بالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي الآخرة

Abul Walid menuturkan kepada kami. Dia berkata: Syu’bah menuturkan kepada kami. Dia berkata: ‘Alqomah bin Martsad mengabarkan kepadaku. Dia berkata: Aku mendengar Sa’d bin ‘Ubaidah -meriwayatkan- dari al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu, dia menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim jika ditanya di dalam kubur maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Itulah maksud dari firman Allah (yang artinya), ‘Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh dalam kehidupan dunia dan ketika di akherat.’” (QS. Ibrahim: 27).” (HR. Bukhari dalam Kitab Tafsir)

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارِ بْنِ عُثْمَانَ الْعَبْدِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ (يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ) قَالَ نَزَلَتْ فِى عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ رَبِّىَ اللَّهُ وَنَبِيِّىَ مُحَمَّدٌ -صلى الله عليه وسلم-. فَذَلِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ

Muhammad bin Basyar bin Utsman al-Abdi menuturkan kepada kami. Dia berkata: Muhammad bin Ja’far menuturkan kepada kami. Dia berkata: Syu’bah menuturkan kepada kami dari ‘Alqomah bin Martsad dari Sa’d bin ‘Ubaidah dari al-Bara’ bin ‘Azib dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata (membaca ayat yang artinya), “Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh.” Beliau bersabda, “Ayat itu turun tentang siksa kubur, akan ditanyakan kepadanya, ‘Siapa Rabbmu’ maka dia akan bisa menjawab, ‘Rabbku adalah Allah, dan Nabiku adalah Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-’. Maka itulah makna firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), ‘Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh dalam kehidupan dunia dan ketika di akherat.’ (QS. Ibrahim: 27).” (HR. Muslim)

Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan:

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ح وَحَدَّثَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِىِّ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ – وَهَذَا لَفْظُ هَنَّادٍ – عَنِ الأَعْمَشِ عَنِ الْمِنْهَالِ عَنْ زَاذَانَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى جَنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِنَا الطَّيْرُ وَفِى يَدِهِ عُودٌ يَنْكُتُ بِهِ فِى الأَرْضِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ : اسْتَعِيذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ. مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا – زَادَ فِى حَدِيثِ جَرِيرٍ هَا هُنَا – وَقَالَ : وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ خَفْقَ نِعَالِهِمْ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ حِينَ يُقَالُ لَهُ : يَا هَذَا مَنْ رَبُّكَ وَمَا دِينُكَ وَمَنْ نَبِيُّكَ. قَالَ هَنَّادٌ قَالَ : وَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولاَنِ لَهُ : مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ : رَبِّىَ اللَّهُ. فَيَقُولاَنِ لَهُ : مَا دِينُكَ فَيَقُولُ : دِينِى الإِسْلاَمُ. فَيَقُولاَنِ لَهُ : مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِى بُعِثَ فِيكُمْ قَالَ فَيَقُولُ : هُوَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَيَقُولاَنِ : وَمَا يُدْرِيكَ فَيَقُولُ : قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ. زَادَ فِى حَدِيثِ جَرِيرٍ : فَذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا). الآيَةَ…

Utsman bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata: Jarir menuturkan kepada kami (ha’). Hannad bin as-Sari juga menuturkan kepada kami. Dia berkata: Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami -dan ini merupakan lafazh yang dibawakan oleh Hannad- dari al-A’masy dari al-Minhal dari Zadan dari ak-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu. Dia berkata: Suatu saat kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengiringi jenazah salah seorang lelaki dari kaum Anshar. Ketika kami sampai di kubur dan jenazah itu telah dikuburkan maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk dan kami pun ikut duduk di sekitar beliau, dan seolah-olah saat itu di atas kami ada burung. Di tangan beliau ada sebilah tongkat kayu yang beliau pukul-pukulkan ke tanah lalu beliau mengangkat kepalanya ke langit seraya mengatakan, “Mintalah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur.” Beliau mengucapkannya dua atau tiga kali. Di dalam hadits Jarir terdapat tambahan “Nah, di sinilah.” Dan beliau melanjutkan, “Sesungguhnya dia mampu mendengar suara sandal-sandal mereka saat mereka berbalik untuk pulang. Ketika itulah ditanyakan kepadanya, ‘Wahai orang ini, siapakah Rabbmu, apakah agamamu, dan siapa Nabimu?’” Hannad berkata: Beliau mengatakan, “Datanglah dua malaikat yang mendudukkannya lalu menanyakan kepadanya, ‘Siapa Rabbmu’ lalu dia pun menjawab, ‘Rabbku adalah Allah’. Lalu mereka berdua bertanya kepadanya, ‘Apa agamamu’ dan dia pun menjawab, ‘Agamaku Islam’. Lalu mereka kembali bertanya, ‘Siapakah lelaki ini yang telah diutus di tengah-tengah kalian’. Maka dia menjawab, ‘Dia adalah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.’ Lalu mereka berdua bertanya, ‘Ilmu apa yang kamu ketahui?’ Maka dia menjawab, ‘Aku membaca Kitabullah, aku beriman dan membenarkannya.’ Di dalam hadits Jarir terdapat tambahan, “Itulah maksud dari firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), ‘Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dst.’…” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

Imam al-Baghawi rahimahullah menerangkan:

قوله تعالى: يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ – كلمة التوحيد، وهي قول: لا إله إلا الله فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا يعني قبل الموت، وَفِي الآخِرَةِ يعني في القبر. هذا قول أكثر أهل التفسير

“Firman Allah ta’ala ‘Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh’ yaitu dengan kalimat tauhid, maksudnya adalah ucapan la ilaha illallah. ‘di dalam kehidupan dunia’ yaitu sebelum meninggal. ‘dan ketika di akherat’ maksudnya adalah ketika berada di alam kubur. Inilah pendapat mayoritas ahli tafsir.” (Ma’alim at-Tanzil [4/349] software Maktabah asy-Syamilah)

Imam al-’Aini rahimahullah menjelaskan:

والقول الثابت هو كلمة التوحيد لأنها راسخة في قلب المؤمن

“Yang dimaksud dengan ucapan yang kokoh itu adalah kalimat tauhid -la ilaha illallah, pent- dikarenakan kalimat itu tertancap kuat di dalam lubuk hati seorang mukmin.” (‘Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari [13/101] software Maktabah asy-Syamilah)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan maksud ayat di atas:

يخبر تعالى أنه يثبت عباده المؤمنين، أي: الذين قاموا بما عليهم من إيمان القلب التام، الذي يستلزم أعمال الجوارح ويثمرها، فيثبتهم الله في الحياة الدنيا عند ورود الشبهات بالهداية إلى اليقين، وعند عروض الشهوات بالإرادة الجازمة على تقديم ما يحبه الله على هوى النفس ومراداتها. وفي الآخرة عند الموت بالثبات على الدين الإسلامي والخاتمة الحسنة، وفي القبر عند سؤال الملكين، للجواب الصحيح، إذا قيل للميت من ربك؟ وما دينك؟ ومن نبيك؟ ” هداهم للجواب الصحيح بأن يقول المؤمن: الله ربي والإسلام ديني ومحمد نبيي

“Allah ta’ala memberitakan bahwasanya Dia akan memberikan keteguhan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman yaitu orang-orang yang menunaikan kewajiban mereka berupa keimanan yang sempurna di dalam hatinya yang menuntut dan memunculkan berbagai amal anggota badan. Allah akan memberikan keteguhan kepada mereka di dalam kehidupan dunia ketika terpaan syubhat/keragu-raguan melanda dengan menganugerahkan petunjuk -kepada mereka- untuk tetap yakin, dan juga ketika hembusan syahwat menerpa dengan karunia kekuatan tekad sehingga membuatnya tetap mendahulukan apa yang dicintai Allah di atas hawa nafsu dan keinginan dirinya. Dan di akherat kelak ketika maut maka Allah berikan keteguhan kepadanya di atas agama Islam dan menjumpai husnul khatimah. Dan ketika berada di alam kubur maka Allah juga akan memberikan keteguhan kepadanya dengan bisa memberikan jawaban yang benar ketika ada dua malaikat yang bertanya kepada mayit itu: ‘Siapa Rabbmu? Apa agamamu? Dan Siapa Nabimu?’ Ketika itulah Allah berikan bimbingan kepada mereka untuk bisa menjawab dengan benar yaitu dengan mengucapkan: ‘Allah Rabbku, Islam agamaku, dan Muhammad Nabiku.’” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/425] asy-Syamilah)

Ringkasan

Dari penjelasan-penjelasan di atas kita dapat mengetahui letak pentingnya mempelajari risalah Tsalastatul Ushul ini. Sebab di dalam risalah ini terkandung berbagai perkara penting, antara lain:

1. Pengenalan tentang sesembahan kita yaitu Allah ta’ala.
2. Pengenalan tentang hakekat agama yang diterima di sisi Allah yaitu Islam.
3. Pengenalan tentang panutan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang menjadi sumber akidah kita.
5. Ilmu yang akan membentengi diri kita dari terpaan fitnah syubhat dan syahwat.
6. Kunci keteguhan bagi seorang muslim untuk bisa menghadapi ujian di alam kubur kelak.
7. Ilmu tauhid, yang itu merupakan sebab utama keselamatan dan kebahagiaan.

Pada pelajaran berikutnya insya Allah akan dijelaskan kandungan mukadimah risalah ini sedikit demi sedikit. Semoga Allah memudahkan kita untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan kemudian melakukan amal yang salih. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Yogyakarta, Sabtu 7 Syawwal 1430 H
Hamba yang fakir kepada Rabbnya

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Minggu, 27 Desember 2009

Televisi Dalam Sorotan




Televisi Dalam Sorotan

Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita yang mulia, Muhammad bin Abdillah, keluarga dan para sahabatnya.

Sesungguhnya seorang mu’min mengetahui bahwa dirinya akan berdiri di hadapan Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban atas amalan-amalan yang diperbuat oleh pendengaran, penglihatan dan hatinya.

Allah berfirman,
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36)

Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam bahwasanya, beliau bersabda,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ

“Tidaklah bergeser kaki anak adam di hari kiamat di hadapan Rabb-nya sampai ditanya tentang lima perkara (yaitu): umurnya bagaimana dia lalui, masa mudanya bagaimana ia habiskan, hartanya darimana ia dapatkan dan bagaimanan ia belanjakan, serta tentang apa yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya.”[1]

Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi setiap muslim untuk instropeksi diri, mempersiapkan dirinya untuk menghadapi pengadilan Allah Yang Maha Adil, menjaga diri dan keluarga-Nya dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Akan tetapi, sudah menjadi sunnatullah bahwa Iblis beserta bala tentaranya selalu berusaha untuk menyesatkan manusia dari jalan yang lurus. Iblis berkata, sebagaimana dikisahkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لأغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

“Iblis berkata: “Demi kemulian-Mu, akan aku sesatkan mereka semuanya” (QS. Shood: 82)

Iblis juga berkata,
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأرْضِ وَلأغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

“Ya Rabbku, oleh sebab Engkau Telah memutuskan bahwa Aku sesat, pasti Aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti Aku akan menyesatkan mereka semuanya,” (QS. Al-Hijr: 39)

Oleh karena itu, Iblis serta bala tentaranya mengerahkan seluruh tenaga, potensi yang dimilikinya dan mengatur strategi-strategi dalam rangka menyesatkan manusia dari jalan yang lurus dengan segala cara dan sarana yang dimilikinya. Iblis berkata,
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ, ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, Kemudian saya akan mendatangi mereka dari arah depan mereka, dari arah belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raaf: 16-17)

Di antara sarana Iblis untuk menyesatkan manusia dari jalan yang lurus adalah makluk yang bernama “TELEVISI”. Bagaimana Islam sebagai agama yang lurus dan sempurna memandang tentang kemunculan makluk baru ini?

Makna Televisi

Televisi berasal dari Bahasa Inggris Television, yang secara asal kata tersusun dari dua kata yaitu Tele (yang mempunyai arti jauh) dan Vision (yang mempunyai arti gambar).

Dalam bahasa arab, kata Television ini diserap ke dalam Bahasa Arab menjadi “تلفزيون” yang mempunyai makna:
جهاز نقل الصور والأصوات بوساطة الأمواج الكهربية

“Alat untuk menukil suara dan gambar dengan perantaraan aliran listrik.”[2]

Hukum Televisi

Jika ditinjau dari asal maknanya, televisi adalah suatu alat yang secara dzatnya tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga tidak bisa dihukumi secara mutlak tentang kebolehan maupun keharamannya. Bahkan hukum asalnya adalah halal dan dibolehkan sebagaimana firman Allah,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 29)

Imam Al-Alusy berkata, “Maksudnya adalah bahwasanya Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi agar kalian mengambil manfaat darinya dalam perkara-perkara dunia kalian baik karena memang yang ada di bumi tersebut secara dzatnya memberi manfaat atau sebagai perantara saja dalam menggapai kemanfaatan. Demikian pula agar kalian juga mengambil manfaat dalam perkara-perkara agama kalian baik dengan istidlal maupun i’tibar. Banyak para ulama ahlus-sunnah dari kalangan hanafiyah dan syafi’iyyah yang berdalil dengan ayat ini tentang bolehnya sesuatu yang memberikan manfaat sebelum datang (keharamannya) dari syariat”[3]

Syaikh As-Sa’dy berkata, ” Yaitu Allah menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian, sebagai bentuk kebaikan dan rahmat atas kalian, agar kalian dapat mengambil manfaat, menikmati, serta mengambil pelajaran. Di dalam ayat yang agung ini terdapat dalil bahwa hokum asal segala sesuatu adalah boleh dan suci.”[4]

Walaupun pada asalnya televisi (secara dzat) itu dibolehkan, namun yang lebih penting untuk dikaji adalah hukum penggunaan televisi di zaman kita sekarang ini. Apabila televisi tersebut digunakan untuk perkara yang bermanfaat, seperti penyebaran ilmu agama yang shohih, informasi tentang ilmu pengetahuan maka hukumnya adalah dibolehkan. Akan tetapi apabila televisi tersebut digunakan untuk penyebaran syi’ar-syiar kekafiran, kemaksiatan, dan segala sesuatu yang menyelisihi syariat maka tidak diragukan lagi bahwa hukumnya berubah menjadi sesuatu yang dilarang. Dengan demikian hukum televisi tergantung dari pemakainya. Berdasarkan realita, penggunaan televisi dewasa ini adalah untuk menyebarkan kemaksiatan serta perkara-perkara yang melalaikan dari agama Allah, walaupun tidak dipungkiri ada manfaat yang bisa diambil dari adanya televisi. Sehingga dapat kita tarik kesimpulan, apabila dimutlakkan, hukum memelihara televisi untuk zaman sekarang ini adalah tidak diperbolehkan mengingat mudhorot yang ditimbulkan jauh lebih besar dan dasyat dari manfaat yang diperoleh. Hal ini berdasarkan kaidah,
الحُكْمُ عَلَى الغَالِبِ

“Al hukmu ‘alal gholib (Hukum itu ditinjau dari keumumannnya).”
Serta kaidah,
دَرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ

“Menolak mudharat (bahaya) lebih didahulukan dari mengambil manfaat”
Dua kaidah di atas merupakan kaidah yang agung di dalam agama kita, agama Islam yang lurus, agama yang menjaga para pemeluknya dari kehancuran serta kemudharatan yang akan menimpa mereka. Kaidah yang didasarkan pada firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah: 219)
Segala sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya, maka Islam datang untuk mencegah dan melarangnya sebagai salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya.

Televisi Dalam Sorotan

Setelah kita mengatakan bahwa memelihara televisi pada zaman kita sekarang ini tidak diperbolehkan, janganlah kita lansung berpikiran picik dengan menganggap ekstrim tentang ucapan ini. Akan tetapi, hendaknya kita mencoba untuk merenung dan membuka mata serta hati kita tentang beberapa dampak yang ditimbulkan oleh kemunculan makhluk yang bernama televisi ini. Sehingga menjadi jelaslah al-haq serta sirnalah al-batil bagi orang-orang yang masih mempunyai tanda-tanda kehidupan di dalam hatinya.
لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَى مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ

“Agar orang yang binasa menjadi binasa di atas bayyinah (keterangan yang jelas) serta agar orang yang hidup dapat hidup di atas bayyinah.” (QS. Al Anfal: 42)

Berikut ini beberapa dampak yang ditimbulkan oleh Televisi:
A. Tersebarnya kekufuran, bid’ah, khurofat dan maksiat di tengah umat

Sadar atau tidak sadar, televisi mempunyai andil yang besar dalam penyebaran kekufuran, bid’ah, khurofat dan kemaksiatan di tengah-tengah umat. Betapa sering ritual-ritual kesyirikan, bid’ah serta hal-hal yang berbau khurofat muncul di televise. Di mana acara-acara ini ditonton oleh kaum muslimin dan anak-anak kaum muslimin yang notabene banyak di antara mereka yang miskin ilmu. Tidak diragukan lagi, sedikit banyak mereka akan termakan oleh syubhat-syubhat acara-acara tersebut. Betapa banyak kita temui di antara kaum muslimin yang meyakini adanya kemampuan orang yang telah meninggal untuk memberikan manfaat dan bahaya disebabkan oleh banyaknya cerita-cerita hantu di televisi. Padahal menurut aqidah kaum muslimin, bahwa orang yang sudah meninggal itu tidak bisa memberikan manfaat dan bahaya serta mereka tidak bisa gentayangan sebagaimana yang disangka oleh orang-orang jahil.

Allah berfirman,
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ, لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku dapat berbuat amal yang saleh yag telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. dan di depan mereka ada barzah sampal hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al-Mukminun: 99-100). Mujahid berkata, “Barzah adalah penghalang antara dunia dan akherat”[5]

Ayat yang mulia ini menjelaskan dengan gamblang kepada kita bahwa orang yang sudah meninggal itu tidak bisa kembali lagi ke dunia karena ada dinding yang menghalanginya.

Betapa banyak pula kaum muslimin yang meyakini tentang bolehnya acara bid’ah tercela yasinan di rumah ahli mayyit dengan alasan karena hal itu banyak dipraktekkan di “film-film islami” yang dipimpin oleh para “kyai”. Dan betapa banyak pula kaum muslimin yang hilang rasa malunya karena mengikuti tren mode-mode pakaian para bintang film yang ada di Televisi. Betapa banyak pula kita jumpai anak-anak kaum muslimin yang menjadi anak-anak durhaka kepada para orang tuanya, durhaka dengan mengabaikan perintah-perintahnya karena sedang asyik menonton televisi dan tidak mau diganggu. Sehingga tatkala orang tuanya menyuruhnya untuk mengerjakan sesuatu, justru raut muka cuet, wajah sinis sampai ucapan-ucapan kotor dari mulut-mulut mereka tertuju kepada orang tua mereka. Siapakah yang bertanggung jawab terhadap kerusakan yang besar dan meraja lela ini? Allahul Musta’an.

B. Kehancuran Akhlaq

Acara-acara televisi dewasa ini mempunyai andil besar dalam mengajarkan kepada para permirsanya untuk melakukan pergaulan bebas dengan lawan jenis. Inlah senjata mutakhir yang digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan moral dan akhlak generasi muda Islam.

Di dalam Protokoler Yahudi disebutkan, “Kita wajib berbuat untuk menghancurkan akhlak di setiap tempat, sehingga kita mudah menguasai mereka (kaum muslimin). Dan akan selalu ditayangkan hubungan seksual secara jelas agar tidak ada lagi sesuatu yang dianggap suci dalam pandangan para pemuda, akibatnya keinginan besar mereka adalah bagaimana memuaskan insting seksualnya. Ketika itulah akhlaknya hancur.”[6]

Agama Islam yang hanif mengajarkan kepada para pemeluknya untuk menundukkan pandangan guna menjaga kesucian mereka. Allah berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya..” (QS. An-Nur: 31)

Akan tetapi, justru Televisi menampilkan gambar serta adegan-adegan menjijikkan dalam sinetron-sinetron yang ditayangkan. Para perempuan yang bersolek, membuka rambut, betis serta membuka sesuatu yang tidak pantas untuk dibuka di depan umum sungguh merupakan fenomena yang dianggap biasa dalam tayangan televisi yang hal ini dapat membuat para lelaki terkapar tidak berdaya karenanya. Bagaimana mereka bisa menundukkan pandangannya apabila di dalam rumahnya masih bercokol makhluk yang bernama televisi ini? Televisipun mengajarkan kepada para pemuda dan pemudi Islam tentang bagaimana trik berpacaran, trik berkencan serta mengajarkan para suami atau istri untuk berselingkuh!

Televisi juga menjadi tersangka dalam penyebaran budaya ikhtilat (campur baur) di masyarakat, sehingga terbukalah kesempatan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit untuk pegang ini dan pegang itu, lirik sana dan lirik sini serta perbuatan-perbuatan lain untuk memuaskan hawa nafsunya. Hendaknya orang yang di dalam hatinya masih ada keimanan untuk menjaga mata, telingga serta anggota-anggota badannya dari melakukan perbuatan-perbuatan kemaksiatan baik di saat ada orang yang melihat maupun tidak ada orang yang melihat. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الأعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mukmin: 19)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan tentang ayat ini, “Dia adalah seorang laki-laki yang masuk pada anggota keluarganya yang di dalamnya terdapat wanita cantik atau ketika wanita cantik itu sedang melewatinya. Ketika orang-orang lengah, ia memperhatikan ke arahnya. Ketika mereka tidak lengah, ia menunduk. Ketika orang-orang lengah, ia memperhatikannya. Ketika mereka tidak lengah, ia menundukkan pandangannya. Sungguh Allah telah melihat hatinya bahwa ia berkeinginan andai saja ia bisa melihat kemaluan wanita tersebut.” [7]

C. Hilang atau redupnya aqidah Islam yang agung, Al-Wala’ wal Bara’ di mata sebagian kaum muslimin

Al-Wala’ wal Bara’ merupakan salah satu aqidah kaum muslimin yang tidak dipungkiri tentang keagungannya di dalam Islam, di mana seorang muslim mencintai karena Allah serta membenci karena Allah. Ia mencintai seseorang karena ketaatannya, demikian pula ia membenci seseorang karena kemaksiatannya kepada Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَي الإِيْمَانِ المُوَالاَةُ فِي اللهِ وَ المُعَادَاةُ فِي اللهِ وَ الحُبُّ فِي اللهِ وَ البُغْضُ فِي اللهِ

“Tali keimanan yang paling kokoh adalah bersikap loyal karena Allah, memusuhi kareana Allah, cinta karena Allah serta benci karena Allah”[8]

Sungguh akidah yang agung ini telah terkikis sedikit demi sedikit dengan semakin banyaknya acara-acara di Televisi. Betapa banyak kita temui anak-anak islam yang begitu ngefans (gandrung yang gak ketulungan) dengan para aktor atau aktris film. Tidak ada yang membuat mereka ngefans dengan para aktor atau aktris film tersebut kecuali karena kelihaian para penebar fitnah tersebut dalam berakting. Padahal mungkin saja para bintang film tersebut adalah orang yang fasik, peminum arak, tukang mempermainkan wanita atau bahkan orang kafir. Sampai-sampai gaya-gaya mereka yang tidak tahu malu dalam berakting pun ditirukan oleh sebagian anak-anak kaum muslimin. La haula wa la quwwata illa billah.

Begitu banyak pula kita jumpai para pemuda-pemudi Islam yang begitu terpikat dengan para pemain bola walaupun mereka adalah orang-orang kafir. Kecintaan mereka yang begitu dalam kepada para pemain bola tersebut bukanlah karena mereka adalah orang-orang yang senantiasa qiyamul lail, bukan pula orang yang senantiasa begadang untuk berkhidmad kepada islam dan kaum muslimin, bukan pula karena tulisan-tulisan mereka yang membela Islam dan kaum muslimin. Akan tetapi kecintaan yang hanya didasarkan atas kelihaian mereka dalam mengolah dan memainkan Si Kulit Bundar! Tidak jarang kita temui dari mereka rela mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk membeli kostum bola yang tertera nama dari pemain bola tersebut.

Ya Allah,andai saja mereka mengetahui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

“Seseorang akan bersama dengan orang yang ia cintai“[9]

Andai saja mereka mau dan meyakini hadits yang mulia ini, tentulah mereka akan membuang jauh-jauh dari hati-hati mereka wajah-wajah para bintang film, pemain bola serta tukang lawak yang banyak berdusta karena tidak ada tanda-tanda kebaikan dari profesi mereka itu di sisi Allah.

D. Tersebarnya gaya hidup materialistis

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ

“Sesungguhnya dunia ini manis dan menyenangkan, dan sesungguhnya Allah telah menjadikan kalian dapat menguasainya. Allah melihat bagaimana kalian beramal. Berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita.”[10]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kepada umatnya untuk takut dan berhati-hati terhadap dunia dan wanita, dua buah fitnah besar di mana manusia diuji dengannya dalam kehidupan mereka. Betapa banyak darah yang telah ditumpahkan di muka bumi ini yang disebabkan oleh dunia dan wanita. Betapa banyak ukhuwah yang telah terjalin kokoh menjadi tercerai berai disebabkan oleh dunia dan wanita. Dan betapa banyak orang yang lalai dari kehidupan hakikinya, kehidupan negeri akherat disebabkan oleh dunia dan wanita. Sungguh benar apabila Nabi kita yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, memperingatkan umatnya dari dua perkara yang agung ini.
Akan tetapi, Televisi dewasa ini, seolah-olah justru melambai-lambaikan tangannya mengajak untuk hanyut dalam buaian dunia dan wanita-wanita jalang yang tidak bermoral.

Betapa banyak para pemirsa yang berangan-angan untuk memiliki mobil, perabot-perabot mewah, rumah megah serta gemerlapnya dunia sebagaimana yang terdapat dalam cerita-cerita fiksi yang ada di sinetron-sinetron. Mereka hanya bisa berangan-angan dan “beri’tikaf ” berjam-jam di depan televisi untuk berangan-angan, “Andai aku seperti dia. Andai aku punya ini dan itu. Andai saja aku … andaisaja aku ….” Berandai-andai yang jauh dari kenyataan dan hanya mengharapkan sesuatu tanpa adanya usaha. Akhirnya, karena selalu dicekoki contoh-contoh kehidupan yang serba mewah di film-film, standar hidup mereka pun menjadi naik drastis. Fokus perhatian mereka pun menjadi uang dan uang. Sehingga munculah istilah “Time is Money“, di mana segala sesuatu dinilai dengan uang. Sampai-sampai mereka menjadi pelit terhadap waktu-waktu mereka kecuali jika di hadapan mereka ada dunia yang menantinya. Na’udzubillah.

E. Penyia-nyiaan waktu

Sesungguhnya waktu mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam Islam. Waktu merupakan bagian dari masa di mana manusia menghabiskan umur di dalamnya. Dengan masuknya Televisi ke dalam rumah-rumah kaum muslimin, sudah berapa jam yang terbuang sia-sia karena menonton acara-acara di televisi. Sungguh mereka telah mengalami kerugian besar di dalam mengarungi samudra kehidupan karena telah membuang waktu yang sebetulnya dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat namun justru terbuang sia-sia tanpa arti atau bahkan menambah dosa-dosa meraka dengan sebab menonton televisi.

Cukuplah menjadi alasan untuk tidak memasukkan televisi ke dalam rumah-rumah kaum muslimin karena televisi tidak banyak memberikan manfaat kepada pemiliknya dan bahkan justru melalaikan mereka dari mengerjakan perkara-perkara yang lebih bermanfaat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara kebagusan keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat.”[11]
Demikianlah pembahasan singkat tentang kemunculan makhuk yang bernama Televisi serta dampat-dampak yang ditimbulkan. Mudah-mudahan Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk berjalan di atas amalan-amalan yang dicintai dan diridhoi-Nya. Dan kita memohon kepada Allah dengan nama-namaNya yang indah serta sifat-sifatNya yang agung agar Dia berkenan untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin sekarang ini serta mendekatkan para pemuda islam kepada orang-orang yang berilmu di antara para ulama.

Tengaran, 24 Februari 2008

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa penulis, dosa kedua orang tua dan dosa guru-gurunya.

Sabtu, 26 Desember 2009